Komoditas Tambang Indonesia




Para pejabat dan politikus (tikus) negeri ini sudah tidak punya rasa nasionalisme  untuk menjaga kepentingan nasional. Komuditas tambang dihambur hambur  dalam bentuk barang mentah demi dollar (export), yang dollar hasil export itu juga tidak sampai ke Indonesia . Kebijakan tolol ini mirip dengan kebijakan DEVISA BEBAS LEPAS yang dianut oleh para petinggi keuangan atau teknokrat keuangan  negeri ini. Mereka seperti mati matian mempertahankan kebijakan tolol dan tidak membela kepentingan nasional ini. Padahal nilai mata uang rupiah sudah terpuruk abis dipermainkan oleh para spekulan yang membawa ” hot money”. Negeri ini dibawah kendali elit dan tikus ini memang bisa sebentar lagi karam.. Dan yang paling dirugikan adalah adalah kaum marhaen yang bertahan hidup hari ke hari.

Ini 5 Komoditas Tambang Indonesia yang Paling Vital
Jakarta -Indonesia terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya, namun sebagian besar produksi mineral tambangnya diekspor mentah-mentah.

Ada 5 komoditas mineral tambang yang harus segera diselamatkan Indonesia. Komoditas itu dinilai mampu mencukupi dan menghidupi negara ini secara mandiri.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM R. Sukhyar mengatakan setidaknya ada 5 komoditas yang harus diselamatkan Indonesia, sehingga mampu mengolah sendiri komoditi tersebut sehingga mendapatkan benefit dan value addict.

"Saya katakan ada lima komoditas yang harus diselamatkan Indonesia, yakni nickel ore (bijih nikel), bauksit, tembaga, iron ore (bijih besi), dan batubara," ujar Sukhyar ditemui di 13th ASEAN Senior Official Meeting on Minerals, Nusa Dua, Bali, Rabu (27/11/2013).

Sukhyar mengungkapkan lima komoditas tambang ini sangat banyak ditemukan di Indonesia, dan dapat menghidupkan industri hilir dan bahkan dapat mencukupi kebutuhan energi listirk untuk menerangi 100% masyarakat Indonesia.

"5 komoditas itu banyak di Indonesia, artinya kalau kita menghidupkan industri hilir kita cukup dari sana, cukup strong kita, makanya itu harus ada hilirisasi. Hilirisasinya harus benar, artinya kita nggak bergantung dari mana-mana karena ada di sini (industri hilirnya), tapi saat ini kita malah menghidupi industri orang lain," katanya.

"Sekarang energi yang sudah siap dari 5 komoditas tersebut adalah batubara. Kalau kita membutuhkan 5.000 megawatt (MW) per tahun untuk mencapai elektrifikasi 100% dan ditambah 9% permintaan listrik per tahun itu sangat cukup hanya mengandalkan batubara, ya bukan berarti energi baru terbarukan tidak ada, tapi lebih cepat dari batubara," tutupnya.

 

1. Batubara

http://images.detik.com/content/2013/11/28/1034/080916_ptba4dalam.jpg
Sukhyar menyebutkan Indonesia memiliki cadangan batubara mencapai 26 miliar ton.

"Kita punya 26 miliar ton batubara, itu proven atau possible resources, sebagian besar ada berada di underground, tapi underground ini belum banyak terekspose karena sebagian besar saat ini sebagian besar tambang batubara dilakukan melalui open pit (tambang terbuka), sedangkan sekitar 2 miliar ton berada di hutan lindung," kata Sukhyar.

Pemerintah segera memberlakukan pelarangan ekspor mineral mentah pada 12 Januari 2014. Hal ini perlu didukung karena jangan sampai Indonesia kena kutukan negara kaya energi dan sumber daya alam tapi miskin terus.

"Pelarangan ekspor mineral mentah bertujuan untuk mendapatkan value addict (nilai tambah), produksi mineral mentah akan memberikan banyak manfaat jika kita mengolahnya sendiri, tidak mentah-mentah diekspor dan diolah negara lain dan kita sendiri yang impor barang yang sebenarnya dasarnya dari Indonesia," ujar R. Sukhyar.

Sukhyar mengungkapkan, Indonesia baru akan mengolah sendiri mineral mentahnya, negara-negara lain justru sudah sejak lama menerapkan kebijakan ini.

"Untuk value addict sudah menjadi isu global, sepuluh tahun terakhir 20 negara telah memperbaiki undang-undang mereka, semua negara memperbaiki kebijakannya, salah satunya meningkatkan peran state owned company-nya, meningkatkan manfaat tax, ingat Obama (Barack, Presiden Amerika Serikat) saja menerapkan tambahan royalti kok untuk material building non logam, tujuannya bagaimana cara meningkatkan benefit," jelasnya.

Sukhyar menegaskan jangan sampai Indonesia terkena kutukan sebagai negara yang kaya akan hasil sumber daya alam baik minyak, mineral tambang dan lainnya namun tetap miskin.

"Negara yang tidak punya sumber daya alam justru maju, mereka berhasil memanfaatkan bahan dasar dari negara pemilik SDA, mereka olah, kemudian dijual kembali dengan harga yang tentu jauh lebih mahal," ungkapnya.

"Kalau kita tidak punya dana untuk mengolah sendiri mineral mentah, kita undang saja investor negara maju, untuk olah mineral mentah kita tapi tentunya di Indonesia, sehingga ada investasi di Indonesia, ada penyerapan tenaga kerja dan ada transfer ilmu dan teknologi," katanya.

 

2. Tembaga

http://images.detik.com/content/2013/11/28/1034/080929_ptba1dalam.jpg

Indonesia berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM tahun 2012 memiliki tembaga terukur berupa besi  sebanyak 6,031 miliar ton dan 32 juta ton berupa logam.

Indonesia saat ini berupaya untuk menerapkan pelarangan ekspor raw materials (mineral mentah), tujuannya agar industri hilir di Indonesia berkembang, diharapkan dengan berkembangnya industri hilir, Indonesia bisa mengolah sendiri mineral tambang mentahnya.

Sukhyar mengungkapkan, pelarangan ekspor mineral mentah merupakan gejala global, banyak negara yang melakukan ketentuan tersebut.

"Ini gejala global, semua negara melakukan itu, tidak hanya Myanmar dan Laos saja, tapi negara-negara di Afrika juga, kan poinnya negara-negara yang kaya resources pasti terbelakang, lalu muncul lah sebutan resources curse (kutukan sumber daya alam), jadi bagaimana semuannya fair business," ucapnya.

Sukhyar mencontohkan saat ini Indonesia mengekspor nickel ore ke China, sementara oleh China diolah menjadi stainless steel.

"Sementara stainless steel-nya kita beli dari China, kenapa bukannya diolah di sini (Indonesia) saja. Ini yang kita harapkan ada kerjasama antara negara-negara ASEAN, mbok China jangan hanya serap nickel ore, mbok dia (China) investasi di Indonesia," tegasnya.

Indonesia saat ini berencana melarang ekspor mineral mentahnya pada 12 Januari 2014 sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Namun rencana pelarangan ekspor ini mendapat tentangan berbagai pihak terutama dari perusahaan mineral tambang yang beroperasi di Indonesia dengan alasan akan mengakibatkan penerimaan negara turun, banyaknya pemutusan tenaga kerja, mengakibatkan dua daerah akan bangkrut dan dampak lainnya lagi.

3. Bauksit

http://images.detik.com/content/2013/11/28/1034/080945_ptba2dalam.jpg
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2012 Indonesia memiliki cadangan bauksit terukur berupa biji sebanyak 340 juta ton dan berupa logam sebanyak 161 juta ton.


4. Nikel

http://images.detik.com/content/2013/11/28/1034/081014_bag_house.jpg

Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2012 Indonesia mempunya sumber daya berupa nikel mencapai 1,091 miliar ton dalam bentuk bijih dan 15 juta ton berupa logam.

5. Bijih Besi

http://images.detik.com/content/2013/11/28/1034/081042_ptba3dalam.jpg
Salah satu komoditas yang wajib diselamatkan Indonesia adalah pasir besi. Pada 2012 berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, memiliki pasir besi terukur sebanyak 46 juta ton dalam bentuk bijih dan 9 juta ton dalam bentuk logam.

Diperkirakan Indonesia mempunyai potensi pasir besi sebanyak 182 juta ton berupa bijih dan 63 juta ton berupa logam.

Sukhyar mengungkapkan lima komoditas tambang ini sangat banyak ditemukan di Indonesia, dan dapat menghidupkan industri hilir dan bahkan dapat mencukupi kebutuhan energi listirk untuk menerangi 100% masyarakat Indonesia.

"Lima komoditas itu banyak di Indonesia, artinya kalau kita menghidupkan industri hilir kita cukup dari sana, cukup strong kita, makanya itu harus ada hilirisasi. Hilirisasinya harus benar, artinya kita nggak bergantung dari mana-mana karena ada di sini (industri hilirnya), tapi saat ini kita malah menghidupi industri orang lain," katanya.

"Sekarang energi yang sudah siap dari 5 komoditas tersebut adalah batubara. Kalau kita membutuhkan 5.000 megawatt (MW) per tahun untuk mencapai elektrifikasi 100% dan ditambah 9% permintaan listrik per tahun itu sangat cukup hanya mengandalkan batubara, ya bukan berarti energi baru terbarukan tidak ada, tapi lebih cepat dari batubara," tutupnya.

Sunber: 
Ini 5 Komoditas Tambang Indonesia yang Paling Vital

50 Tahun Disedot Asing, Akhirnya Blok Minyak Ini ke Pelukan Pertamina


Nusa Dua -Kementerian ESDM telah memutuskan memberikan 2 blok minyak di Indonesia kepada PT Pertamina (Persero). Dua blok minyak telah habis masa kontraknya pada 27 November 2013.

Satu dari dua blok minyak ini telah digarap oleh perusahaan asing selama 50 tahun.

"Tepat tadi malam pukul 00.00 WIB, 2 blok minyak kontraknya berakhir, pertama Blok Siak yang dikelola oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) selama 50 tahun, dan Blok Kampar yang dikelola PT Medco Energy," kata Jero ditemui pada acara 4th ASEAN Ministerial Meeting On Minerals (AMMIN) and Associated Meetings, Nusa Dua, Bali, Kamis (28/11/2013).

Jero mengatakkan, setelah dilakukan evaluasi dan berdiskusi dengan SKK Migas, Pertamina, Chevron, serta Medco, akhirnya diputuskan kedua blok tersebut tidak diperpanjang.

"Setelah kita diskusi dengan SKK Migas, ada Pertamina juga, ada Medco juga dan ada Chevron, diambil keputusan pengelolaan blok tersebut tidak diperpanjang, kedua blok minyak tersebut diserahkan kepada PT Pertamina," tegasnya.

Namun karena Pertamina sendiri tidak bisa langsung otomatis mengoperasikan kedua blok tersebut, diputuskan untuk sementara kedua blok tersebut tetap dioperasikan oleh perusahaan sebelumnya, sambil menunggu masa transisi.

"Tidak mungkin langsung dikelola Pertamina, Pertamina juga mengakui itu, makanya ada masa transisi, maksimum 6 bulan, kalau bisa lebih cepat 3 bulan ya nggak masalah. Masa transisi ini penting karena jika langsung mendadak akan mengancam produksi minyak dari Blok Siak sebesar 4.000 barel per hari dan Blok Kampar sebesar 3.000 barel per hari," ungkapnya

Jero juga mengatakan, khusus untuk pengelolaan Blok Kampar, Medco akan mendapatkan komisi atau imbalan dari pengelolaan blok untuk sementara, selama menunggu masa transisi.

"Medco inikan lebih gampang, dia juga perusahaan nasional, jadi dia nanti dapat fee (imbalan) untuk mengoperasikan sementara waktu blok tersebut, dalam fee tersebut Medco juga bisa mengandeng pihak swasta dan daerah," katanya.

Pemutusan kontrak Blok Siak yang sudah dioperasikan pihak Chevron selama 50 tahun ini telah dibicarakan dengan baik-baik.

"Kita sudah bicara baik-baik dengan Chevron, nggak boleh jelek, kita tetap ingin kerjasama terus, apalagi kan Chevron juga masih ada ladang minyak yang lain, ini seperti suami-istri kerjasama selama 50 tahun kemudian berpisah, tentu harus baik-baik," kata Jero.

Sumber: 
50 Tahun Disedot Asing, Akhirnya Blok Minyak Ini ke Pelukan Pertamina

Jero: Kalau Kita Punya 3 Kilang Minyak Baru, Tak Ada Lagi Impor

Nusa Dua -Neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit yang salah satunya dipicu tingginya impor minyak. Bila saja Indonesia mempunyai 3 kilang minyak baru, maka tidak akan ada lagi impor minyak.

Hal tersebut seperti diungkapkan Menteri ESDM Jero Wacik ditemui pada acara 4th ASEAN Ministerial Meeting on Minerals (AMMIN) and Associated Meetings di Nusa Dua, Bali, Kamis (28/11/2013).

"Kita itu sudah punya rencana bangun kilang minyak sebanyak 3 kilang, kapasitasnya 300.000 barel per hari, jadi kalau ada 3 x 300.000 barel per hari, maka kita akan punya tambahan produksi BBM sebanyak 900.000 barel per hari," ujar Jero.

Rencana awal 3 kilang tersebut harusnya selesai pada 2018, namun hingga saat ini belum ada satupun kilang yang dibangun.

"Kalau selesainya 2018 itu Menteri ESDM-nya pasti ongkang-ongkang kaki, tenang dia, karena nggak ada lagi kita impor-impor minyak," ucapnya.

Jero sendiri tidak mengerti mengapa pembangunan kilang di Indonesia banyak sekali hambatannya.

"Kita itu terlalu banyak berdebat, kalau saya yang, sudah dari kemarin bikin kilang, kalau urusannya tax holiday dan lainnya itu bukan urusan saya, saya sebagai Menteri ESDM sudah setuju bangun kilang, kita itu terlalu banyak dibahas," ujar Jero.

Sumber: 
Jero: Kalau Kita Punya 3 Kilang Minyak Baru, Tak Ada Lagi Impor


Publikasi Laporan EITI Indonesia: Langkah Keterbukaan di Sektor Ekstraktif Migas dan Tambang


Laporan Pertama Transparansi Penerimaan Industri Ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiative/EITI) Indonesia telah resmi dipublikasi pada bulan April 2013 lalu. Transparansi penerimaan sektor pertambangan dan migas merupakan salah satu rencana aksi OGP Indonesia di subsektor lingkungan dan sumberdaya alam. Laporan ini menghadirkan rekonsiliasi antara data-data penerimaan negara yang disetorkan oleh entitas perusahaan migas dan pertambangan, dengan data-data penerimaan negara yang diterima oleh entitas Pemerintah. Data Penerimaan tersebut baik berupa pajak maupun non pajak serta dana transfer ke Pemerintah Daerah.

Laporan EITI ini lahir setelah melalui proses panjang dalam pengambilan keputusan secara multipihak antara unsur pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil dalam penentuan cakupan dan format yang sesuai standar EITI, sehingga proses pelaporan dan rekonsiliasi berlangsung. Laporan EITI ini menyajikan rekonsiliasi angka penerimaan Pemerintah Pusat dengan angka setoran perusahaan minyak dan gas bumi serta pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, dengan nilai perbandingan sepadan dengan catatan penerimaan negara dari sektor migas dan pertambangan untuk pajak dan bukan-pajak di tahun kalender 2009 sebesar Rp251.7 trilyun. Laporan EITI ini menunjukkan rincian kontribusi dari setiap perusahaan migas dan perusahaan pertambangan besar dan kecil, termasuk perusahaan yang memiliki ijin lokal.

Laporan EITI ini memberikan satu alat kontrol kepada masyarakat untuk mengetahui pembayaran kewajiban yang dilakukan oleh setiap perusahaan migas atau pertambangan kepada setiap instansi pemerintahan yang berwenang. Hal ini tentunya adalah sebuah pencapaian yang signifikan dalam transparansi pemerintahan. Untuk pertama kalinya, jumlah rincian atas pajak penghasilan dan kontribusi royalti dari sektor pertambangan mineral dan batubara dibuka secara rinci kepada publik, berdasarkan wilayah operasi atau satuan unit produksi/kontraknya. Sebelum implementasi EITI, kontribusi total tanpa rincian atas royalti yang dibayarkan seluruh perusahaan pertambangan merupaka satu-satunya data yang tersedia bagi publik.

Laporan EITI Indonesia menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan pertambangan mineral (emas, tembaga, nikel, timah dan bauksit) ini memberikan kontribusi sebesar Rp12.5 trilyun  pajak penghasilan dan Rp12.5 trilyun royalti, sementara perusahaan-perusahaan pertambangan batubara dalam laporan ini memberikan kontribusi sekitar Rp10.4 trilyun pajak penghasilan dan Rp13.5 trilyun royalti. Angka tersebut berasal dari rincian yang dilaporkan oleh perusahaan yang kriteria materialitas. Angka kontribusi total secara riil memiliki kemungkinan lebih besar, dikarenakan Laporan EITI ini belum  mencakup semua perusahaan pertambangan kecil serta beberapa perusahaan menengah dan besar yang angka setoran pajaknya tidak dapat disampaikan oleh Ditjen Pajak terkait dengan pemenuhan ketentuan UU Pajak mengenai pengungkapan data wajib pajak.

Laporan EITI Indonesia pertama ini juga membantu masyarakat untuk mengetahui jumlah pembayaran setiap perusahaan yang menjadi hak daerah berdasarkan prinsip derivasi dan realisasi. Informasi tersebut belum mendapatkan perhatian publik, karena informasi rincian kontribusi dari setiap perusahaan ekstraktif kepada pemerintah daerah tidak berada dalam satu laporan bersamaan dengan total yang disetorkan kepada Pemerintah Pusat. Kini, informasi seperti ini telah diinisiasi dalam laporan EITI Indonesia Pertama tahun 2009, yaitu meliputi berapa kontribusi dari perusahaan ekstraktif yang dibagihasilkan di setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Saat ini, public Indonesia di daerah kaya sumber daya alam akan menerima jawaban tidak hanya tentang penerimaan Negara dari perusahaan migas dan pertambangan, tetapi juga yang lebih penting dari perspektif otonomi daerah, berapa jumlah penerimaan dari setiap perusahaan yang mengalir kepada propinsi dan kabupaten. Ini yang menjadikan laporan ini sebuah alat bagi public untuk mengejar pertanggungjawaban dari pemerintahnya melalui transparansi informasi penerimaan Negara. (*)

Sumber:
Publikasi Laporan EITI Indonesia: Langkah Keterbukaan di Sektor Ekstraktif Migas dan Tambang

Freeport Kembali Minta Dispensasi Ekspor Mineral Mentah

Perusahaan “Kampret” ! Bertahun tahun hanya bisa mengeruk perut bumi, masih tidak tahu malu minta dispensasi pula..

Rozik B Soetjipto (tambang.co.id)

Ipotnews - PT Freeport Indonesia meminta pemerintah memberikan keringanan dalam pelarangan ekspor mineral mentah – sesuai UU Mineral dan Batubara No 4 tahun 2009 – per Januari 2014. Alasan Freeport meminta keringanan karena telah berkomitmen untuk melakukan pemurnian dengan pihak ketiga.

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik B Sutjipto mengatakan bahwa Freeport berkomitmen akan melakukan hilirisasi dengan bekerja sama dengan pihak ketiga, di antaranya PT Indosmelter dan PT Indovasi. Namun, smelter yang dibangun oleh kedua perusahaan tersebut baru bisa beroperasi pada 2017.
“Kami coba sampaikan kepada pemerintah lewat Wakil Menteri ESDM (Susilo Siswoutomo) untuk diberikan dispensasi, karena kita sudah lakukan kerja sama dengan pihak ketiga seperti Indovasi dan Indosmelter,” ujar Rozik di Jakarta, Selasa (22/10).

Selain melakukan kerja sama untuk pemurnian, Freeport juga telah melakukan studi kelayakan pembangunan smelter. Akan tetapi, untuk studi tersebut, Freeport tidak akan melakukan pembangunan smelter, walau telah melakukan visibilitasi studi.

Rozik menjelaskan, visibilitasi studi tersebut akan selesai pada akhir tahun 2013 atau awal Januari 2014. Visibilitasi studi yang dilakukan Freeport ada tiga wilayah. Dengan adanya visibilitasi studi tersebut, akan memberikan peluang bagi para investor yang ingin melakukan pembangunan smelter. “Itu tidak kita yang bangun, itu semacam di Gresik (pihak ketiga), bisa saja ada pihak ketiga yang tertarik bangun smelter,” ujarnya.

Rozik kembali menegaskan, untuk masalah hilirisasi yang akan ditetapkan pada 12 Januari 2014, Freeport mohon dispensasi, karena pihaknya telah melakukan studi, dan pihak ketiga yang bangun smelter baru siap pada 2017. “Pembangunan pabrik pemurnian antara satu logam dengan yang lain berbeda, jadi agak lama memang,” akunya.

Pemerintah sudah memberi waktu lima tahun untuk perusahaan tambang membangun smelter, sejak UU Minerba disahkan. Namun, sayang, banyak perusahaan yang enggan memenuhinya, namun tak mau jika dilarang mengekspor mineral mentah.(Rifai/ha)

Sunber:

Freeport Kembali Minta Dispensasi Ekspor Mineral Mentah